Monday, October 22, 2018
Saturday, October 13, 2018
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua
Wednesday, October 10, 2018
Tuesday, October 9, 2018
PANDANGAN ULAMA TENTANG MENGGANDENG ETIKA SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN MUTLAK DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM
Ada seorang kawan bertanya, “jikalau ada yang sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, bagaimana hukumnya ?”
Disini ada dua variable pertanyaan yang disoroti, kemudian menggandengnya menjadi satu rumusan masalah. Pertama, Apa hukum dari mencuri ? Kedua, seperti apakah standarisasi sholat untuk dikatakan sah ? Kemudian jawaban kedua pertanyaan tersebut diramu untuk menjawab “Bagaimana hukum melakukan sholat dengan pakaian hasil curian ?.
Kelompok pertama menjawab, antara sholat dan mencuri pakaian adalah dua hal berbeda yang harus dihukumi secara terpisah. Dia bersalah (berdosa) karena telah mencuri pakaian, Namun selama syarat dan rukun sholat terpenuhi, maka sholatnya sah secara syariat. Kelompok ulama yang menjawab demikian ini dapat disebut sebagai ahli fiqih yang formalistic. Mereka memandang melalui aspek Legal-Formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhinya aturan syariat tekstual yang tersedia, dimana pertimbangan moral tidak termasuk dalam factor kajian hukum islam.
Kelompok kedua, memiliki perbedaan sudut pandang, dimana mereka memperhitungkan keterkaitan antara nilai etika dan kajian syariat. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, namun jika bertabrakan dengan nilai nilai etis moral, maka kelompok kedua akan menentangnya. Artinya, dalam hal ini bukankah hikmah dari sholat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ? kalau dia sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, maka sholatnya bertentangan dengan hikmah diatas. Oleh karena itu, shalat dengan menggunakan pakaian hasil curian ialah tidak sah menurut pandangan ahli fiqih kelompok kedua ini.
Pemahaman fiqih yang legal-formal menurut kelompok pertama, dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum. Namun sering diprotes sebagai sebuah kajian yang kering akan nilai hikmah dan kaku terhadap nilai nilai etika. Sementara itu, kelompok kedua yang memiliki pemahaman fiqih yang melibatkan nilai norma, moral dan etika, yang mengarah pada hikmatut tasyri’, dianggap sebagai sebuah kajian yang terlalu melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda, dan seringkali mengakibatkan batasan moralnya menjadi terkesan subjektif.
Diatas dua model pendapat tersebut, sebenarnya ada model ulama ketiga yang tidak hanya menggunakan sudut pandang formalis dan moralis. Namun mereka juga mengedepankan aspek spiritual ruhaniyah. Dimana mereka menggabungkan antara fiqih, etika, dan spiritual/perasaan. Merekalah yang sering disebut sebagai ulama’ tasawuf/sufi. Namun ulama model ini jarang muncul ke permukaan untuk meng ekspose pendapat mereka. Jikalau anda bertanya, tentang “bagaimana hukumnya sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian ?”. Maka mereka kebanyakan akan menjawab : “begitu teganya engkau menanyakan hal yang akan membawa tanggungan seberat ini kepadaku ? bukankah sudah tegas bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Allah ? Sudah, kembalikan pakaian itu, lalu sholatlah menggunakan pakaianku…!!”
Dari keterangan di atas, maka kiranya kita mampu mengambil hikmah tentang begitu dalamnya islam memandang suatu permasalahan. Dimana segala urusan mulai hablum minalloh dan hablum minannas diatur secara presisi dengan kaidah kaidah yang tidak merugikan satu sama lain, li ulil albab. Analogi permasalahn di atas dapat diperluas dalam kajian kasus lainya seperti, “Bagaimana hukumnya umroh menggunakan uang hasil korupsi ?” dan lain sebagainya. Wallahua’lam.
Ada seorang kawan bertanya, “jikalau ada yang sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, bagaimana hukumnya ?”
Disini ada dua variable pertanyaan yang disoroti, kemudian menggandengnya menjadi satu rumusan masalah. Pertama, Apa hukum dari mencuri ? Kedua, seperti apakah standarisasi sholat untuk dikatakan sah ? Kemudian jawaban kedua pertanyaan tersebut diramu untuk menjawab “Bagaimana hukum melakukan sholat dengan pakaian hasil curian ?.
Kelompok pertama menjawab, antara sholat dan mencuri pakaian adalah dua hal berbeda yang harus dihukumi secara terpisah. Dia bersalah (berdosa) karena telah mencuri pakaian, Namun selama syarat dan rukun sholat terpenuhi, maka sholatnya sah secara syariat. Kelompok ulama yang menjawab demikian ini dapat disebut sebagai ahli fiqih yang formalistic. Mereka memandang melalui aspek Legal-Formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhinya aturan syariat tekstual yang tersedia, dimana pertimbangan moral tidak termasuk dalam factor kajian hukum islam.
Kelompok kedua, memiliki perbedaan sudut pandang, dimana mereka memperhitungkan keterkaitan antara nilai etika dan kajian syariat. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, namun jika bertabrakan dengan nilai nilai etis moral, maka kelompok kedua akan menentangnya. Artinya, dalam hal ini bukankah hikmah dari sholat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ? kalau dia sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, maka sholatnya bertentangan dengan hikmah diatas. Oleh karena itu, shalat dengan menggunakan pakaian hasil curian ialah tidak sah menurut pandangan ahli fiqih kelompok kedua ini.
Pemahaman fiqih yang legal-formal menurut kelompok pertama, dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum. Namun sering diprotes sebagai sebuah kajian yang kering akan nilai hikmah dan kaku terhadap nilai nilai etika. Sementara itu, kelompok kedua yang memiliki pemahaman fiqih yang melibatkan nilai norma, moral dan etika, yang mengarah pada hikmatut tasyri’, dianggap sebagai sebuah kajian yang terlalu melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda, dan seringkali mengakibatkan batasan moralnya menjadi terkesan subjektif.
Diatas dua model pendapat tersebut, sebenarnya ada model ulama ketiga yang tidak hanya menggunakan sudut pandang formalis dan moralis. Namun mereka juga mengedepankan aspek spiritual ruhaniyah. Dimana mereka menggabungkan antara fiqih, etika, dan spiritual/perasaan. Merekalah yang sering disebut sebagai ulama’ tasawuf/sufi. Namun ulama model ini jarang muncul ke permukaan untuk meng ekspose pendapat mereka. Jikalau anda bertanya, tentang “bagaimana hukumnya sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian ?”. Maka mereka kebanyakan akan menjawab : “begitu teganya engkau menanyakan hal yang akan membawa tanggungan seberat ini kepadaku ? bukankah sudah tegas bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Allah ? Sudah, kembalikan pakaian itu, lalu sholatlah menggunakan pakaianku…!!”
Dari keterangan di atas, maka kiranya kita mampu mengambil hikmah tentang begitu dalamnya islam memandang suatu permasalahan. Dimana segala urusan mulai hablum minalloh dan hablum minannas diatur secara presisi dengan kaidah kaidah yang tidak merugikan satu sama lain, li ulil albab. Analogi permasalahn di atas dapat diperluas dalam kajian kasus lainya seperti, “Bagaimana hukumnya umroh menggunakan uang hasil korupsi ?” dan lain sebagainya. Wallahua’lam.
Monday, October 1, 2018
Sering kali
kita mendengar tindak kekerasan dan arogansi dalam bentuk apapun yang sering
kali dilakukan atas hegemoni keagamaan dan pemurnian ajaran. Yang mana dalam
hal ini justru tersinyalir mengarah terhadap hegemoni mayoritas bahkan bisa
dilihat dengan sudut pandang lebih dalam sebagai propaganda rasisme,
radikalisme. Maka dari itu dalam posisi tertentu kita juga perlu menempatkan
diri dalam posisi sebagai minoritas, karena hal ini seringkali mampu melatih
pola pikir kita untuk melihat realita lebih cermat dan objektif karena jauh
dari egoisme.
Seperti dalam
hal tindakan perusakan terhadap tempat peribadatan yang merupakan buntut dari
fatalism ideology, mengingatkan kita terhadap kisah sunan ampel yang ditulis
oleh syekh Fadhol Assanuri Tuban dalam Buku Ahla Musamarah Beliau.
Wa Qila : pada
saat Sunan Ampel berkunjung ke Majapahit, dan hendak melakukan shalat di gazebo
taman kerajaan, ada beberapa penjaga dan pelayan istana yang mencaci dan menilai
ibadah Sunan Ampel aneh, karena kebanyakan mereka adalah penganut hindu budha
dan animisme. Lalu muncul seorang sesepuh keraton bernama Sanjaya Dirga menegur
dengan tegas orang orang yang mengejek Sunan Ampel. Beliau berkata : “hei,
jangan kalian ejek mereka. Sesungguhnya setiap orang memiliki tuhan, dan mereka
mempunyai cara masing masing dalam menyembah tuhanya.”
Jika dalam
sudud pandang toleransi social (tasamuh) maka hal tersebut merupakan sebuah
tindakan yang bijaksana. Sekalipun kisah tersebut tidak dapat dijadikan sumber
hukum (masadir al-tashri), namun dapat digunakan sebagai pengalaman yang berfaidah
dalam bersosial bermasyarakat, yang mana dalam konteks ini adalah kerukunan
bersama (ta’ayusy).
Senada dengan
cerita Sunan Ampel diatas, adalah percakapan syekh Al-Imam Al-Mabadi Al-‘Udzma
Ali Jum’ah dalam menanggapi pertanyaan santrinya mengenai hadits Bukhori : 3/1206 no 3144, Muslim : 3/1665 nomor 2106,
dari hadis Abi Tolhah tentang haramnya patung dan berhala . sebagai berikut :
Tanya santri : “bila
memang menurut hadis tersebut gambar, patung, atau sejenisnya(dengan sempurna)
adalah haram, maka kita telah berdosa jika membiarkanya tetap berada di muka
bumi ini apalagi sebagai sesembahan orang orang itu.”
Syekh ali
jum’ah menjawab : “kalau demikian mengapa engkau tidak mengajak pemuda untuk anarkis dengan memasuki
tempat tempat perjudian yang keharamanya telah jelas (telah menjadi consensus
yuris) dalam hukum islam ?”
Santri itupun
terdiam
Tambah syekh
ali jum’ah :”kenapa engkau diam, bukankah persoalanya sudah cukup jelas ?”
“aku
berpendapat demikian ini semata mata demi kerukunan bersama (ta’ayusy), inilah
yang menyebabkan aku menjadi tawanan dalam permasalahan ini. Yang aku lihat
bukanlah pada patung ini, boleh jadi engkau melihatnya sebagai patung. Namun
mereka memandangnya pada keelokanya, keindahan kerajinanya, keindahan
bentuknya, atau boleh jadi mereka melihatnya sebagai perantara sesembahan
menuju tuhanya, itu bebas kau lakukan,
mereka pun demikian, namun kita tidak melihatnya. Karena kita meyakini bahwa hadis tentang haramnya
patung adalah sahih, tapi aku ingin tetap hidup rukun bersama mu dan mereka,
karena Al-Ta’ayusy juz’un la yatajazza’u min al-din (hidup rukun merupakan hal
yang tak terpisahkan dari agama).” Terang syekh Ali Jum’ah
Bila kebebasan
beragama (hurriyah al-din) sudah kita sepakati adanya, maka menghormati
peribadahan agama lain adalah bagian dari wasilah mewujudkan kehidupan yang
rukun (at-ta’ayusy).
Menggunakan sudut pandang kerukunan
dan toleransi antar umat beragama
Butuh masukan apabila direlevansikan
dengan anjuran Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Top 5 Popular of The Week
-
Mungkin anda sering mendengarkan kata “bid’ah” baik lewat mesia sosial, televisi, maupun pamflet pamflet di masjid yang kadang berse...
-
Sebelum Rosululloh Muhammad SAW wafat, beliau memeberikan khutbah terakhir dalam haji wada’. Khutbah ini sangat penting karena isinya...
-
Masa masa pubertas yang dialami oleh manusia merupakan sesuatu proses hormonal yang termasuk dalam sunnatulloh atau ketetapan Alllah SWT...
-
Islam merupakan agama yang dibawa untuk misi “rahmatan lil ‘alamin” , yang artinya islam diturunkan untuk membawa keharmonisan, bai...
-
Ini adalah salah satu kreatifitas para santri salah satu pondok pesantren di indonesia. dimana dalam video ini kita bisa melihat k...
-
Nabi Muhammad Sholallohu Alaihi Wasalam merupakan Nabi sekaligus Rosul terakhir yang oleh Allah SWT diutus untuk meneyebarkan Agama I...
-
Sebagai mahluk sosial yang hidup selalu berdampingan dan bersinggungan dengan orang maupun kelompok masyarakat baik itu teman, saudara, m...
-
Belakangan ini banyak sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dipicu karena berbagai faktor. Mulai dari faktor ekonomi, usia, ...