Ada seorang kawan bertanya, “jikalau ada yang sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, bagaimana hukumnya ?”
Disini ada dua variable pertanyaan yang disoroti, kemudian menggandengnya menjadi satu rumusan masalah. Pertama, Apa hukum dari mencuri ? Kedua, seperti apakah standarisasi sholat untuk dikatakan sah ? Kemudian jawaban kedua pertanyaan tersebut diramu untuk menjawab “Bagaimana hukum melakukan sholat dengan pakaian hasil curian ?.
Kelompok pertama menjawab, antara sholat dan mencuri pakaian adalah dua hal berbeda yang harus dihukumi secara terpisah. Dia bersalah (berdosa) karena telah mencuri pakaian, Namun selama syarat dan rukun sholat terpenuhi, maka sholatnya sah secara syariat. Kelompok ulama yang menjawab demikian ini dapat disebut sebagai ahli fiqih yang formalistic. Mereka memandang melalui aspek Legal-Formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhinya aturan syariat tekstual yang tersedia, dimana pertimbangan moral tidak termasuk dalam factor kajian hukum islam.
Kelompok kedua, memiliki perbedaan sudut pandang, dimana mereka memperhitungkan keterkaitan antara nilai etika dan kajian syariat. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, namun jika bertabrakan dengan nilai nilai etis moral, maka kelompok kedua akan menentangnya. Artinya, dalam hal ini bukankah hikmah dari sholat adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ? kalau dia sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian, maka sholatnya bertentangan dengan hikmah diatas. Oleh karena itu, shalat dengan menggunakan pakaian hasil curian ialah tidak sah menurut pandangan ahli fiqih kelompok kedua ini.
Pemahaman fiqih yang legal-formal menurut kelompok pertama, dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum. Namun sering diprotes sebagai sebuah kajian yang kering akan nilai hikmah dan kaku terhadap nilai nilai etika. Sementara itu, kelompok kedua yang memiliki pemahaman fiqih yang melibatkan nilai norma, moral dan etika, yang mengarah pada hikmatut tasyri’, dianggap sebagai sebuah kajian yang terlalu melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda, dan seringkali mengakibatkan batasan moralnya menjadi terkesan subjektif.
Diatas dua model pendapat tersebut, sebenarnya ada model ulama ketiga yang tidak hanya menggunakan sudut pandang formalis dan moralis. Namun mereka juga mengedepankan aspek spiritual ruhaniyah. Dimana mereka menggabungkan antara fiqih, etika, dan spiritual/perasaan. Merekalah yang sering disebut sebagai ulama’ tasawuf/sufi. Namun ulama model ini jarang muncul ke permukaan untuk meng ekspose pendapat mereka. Jikalau anda bertanya, tentang “bagaimana hukumnya sholat dengan menggunakan pakaian hasil curian ?”. Maka mereka kebanyakan akan menjawab : “begitu teganya engkau menanyakan hal yang akan membawa tanggungan seberat ini kepadaku ? bukankah sudah tegas bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah milik Allah ? Sudah, kembalikan pakaian itu, lalu sholatlah menggunakan pakaianku…!!”
Dari keterangan di atas, maka kiranya kita mampu mengambil hikmah tentang begitu dalamnya islam memandang suatu permasalahan. Dimana segala urusan mulai hablum minalloh dan hablum minannas diatur secara presisi dengan kaidah kaidah yang tidak merugikan satu sama lain, li ulil albab. Analogi permasalahn di atas dapat diperluas dalam kajian kasus lainya seperti, “Bagaimana hukumnya umroh menggunakan uang hasil korupsi ?” dan lain sebagainya. Wallahua’lam.
Ini kalau gua nyebutin nama golongan boleh gak ya.. wkwkwk
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteBagus bagus.. anda pintar sekali
DeleteBagus bagus.. anda pintar sekali
DeleteSodakoh sae mboten sodaqoh mboten sae
ReplyDeletepodo karo nyumbang akeh ora iklhas orapopo
ReplyDeleteWe urung diulang metpen ye.. wkwkk
DeleteWe urung diulang metpen ye.. wkwkk
Delete