Sering kali
kita mendengar tindak kekerasan dan arogansi dalam bentuk apapun yang sering
kali dilakukan atas hegemoni keagamaan dan pemurnian ajaran. Yang mana dalam
hal ini justru tersinyalir mengarah terhadap hegemoni mayoritas bahkan bisa
dilihat dengan sudut pandang lebih dalam sebagai propaganda rasisme,
radikalisme. Maka dari itu dalam posisi tertentu kita juga perlu menempatkan
diri dalam posisi sebagai minoritas, karena hal ini seringkali mampu melatih
pola pikir kita untuk melihat realita lebih cermat dan objektif karena jauh
dari egoisme.
Seperti dalam
hal tindakan perusakan terhadap tempat peribadatan yang merupakan buntut dari
fatalism ideology, mengingatkan kita terhadap kisah sunan ampel yang ditulis
oleh syekh Fadhol Assanuri Tuban dalam Buku Ahla Musamarah Beliau.
Wa Qila : pada
saat Sunan Ampel berkunjung ke Majapahit, dan hendak melakukan shalat di gazebo
taman kerajaan, ada beberapa penjaga dan pelayan istana yang mencaci dan menilai
ibadah Sunan Ampel aneh, karena kebanyakan mereka adalah penganut hindu budha
dan animisme. Lalu muncul seorang sesepuh keraton bernama Sanjaya Dirga menegur
dengan tegas orang orang yang mengejek Sunan Ampel. Beliau berkata : “hei,
jangan kalian ejek mereka. Sesungguhnya setiap orang memiliki tuhan, dan mereka
mempunyai cara masing masing dalam menyembah tuhanya.”
Jika dalam
sudud pandang toleransi social (tasamuh) maka hal tersebut merupakan sebuah
tindakan yang bijaksana. Sekalipun kisah tersebut tidak dapat dijadikan sumber
hukum (masadir al-tashri), namun dapat digunakan sebagai pengalaman yang berfaidah
dalam bersosial bermasyarakat, yang mana dalam konteks ini adalah kerukunan
bersama (ta’ayusy).
Senada dengan
cerita Sunan Ampel diatas, adalah percakapan syekh Al-Imam Al-Mabadi Al-‘Udzma
Ali Jum’ah dalam menanggapi pertanyaan santrinya mengenai hadits Bukhori : 3/1206 no 3144, Muslim : 3/1665 nomor 2106,
dari hadis Abi Tolhah tentang haramnya patung dan berhala . sebagai berikut :
Tanya santri : “bila
memang menurut hadis tersebut gambar, patung, atau sejenisnya(dengan sempurna)
adalah haram, maka kita telah berdosa jika membiarkanya tetap berada di muka
bumi ini apalagi sebagai sesembahan orang orang itu.”
Syekh ali
jum’ah menjawab : “kalau demikian mengapa engkau tidak mengajak pemuda untuk anarkis dengan memasuki
tempat tempat perjudian yang keharamanya telah jelas (telah menjadi consensus
yuris) dalam hukum islam ?”
Santri itupun
terdiam
Tambah syekh
ali jum’ah :”kenapa engkau diam, bukankah persoalanya sudah cukup jelas ?”
“aku
berpendapat demikian ini semata mata demi kerukunan bersama (ta’ayusy), inilah
yang menyebabkan aku menjadi tawanan dalam permasalahan ini. Yang aku lihat
bukanlah pada patung ini, boleh jadi engkau melihatnya sebagai patung. Namun
mereka memandangnya pada keelokanya, keindahan kerajinanya, keindahan
bentuknya, atau boleh jadi mereka melihatnya sebagai perantara sesembahan
menuju tuhanya, itu bebas kau lakukan,
mereka pun demikian, namun kita tidak melihatnya. Karena kita meyakini bahwa hadis tentang haramnya
patung adalah sahih, tapi aku ingin tetap hidup rukun bersama mu dan mereka,
karena Al-Ta’ayusy juz’un la yatajazza’u min al-din (hidup rukun merupakan hal
yang tak terpisahkan dari agama).” Terang syekh Ali Jum’ah
Bila kebebasan
beragama (hurriyah al-din) sudah kita sepakati adanya, maka menghormati
peribadahan agama lain adalah bagian dari wasilah mewujudkan kehidupan yang
rukun (at-ta’ayusy).
Menggunakan sudut pandang kerukunan
dan toleransi antar umat beragama
Butuh masukan apabila direlevansikan
dengan anjuran Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Bagus
ReplyDeleteCukup menarik.. dengan sudut pandang yang agak berbeda
ReplyDeleteMasok pak ekooo....
ReplyDeleteMantul pak eko
ReplyDeleteMantul pak eko
ReplyDelete