Monday, October 1, 2018

HIDUP RUKUN BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM Esensi “al-ta’ayusy” antar umat beragama



Sering kali kita mendengar tindak kekerasan dan arogansi dalam bentuk apapun yang sering kali dilakukan atas hegemoni keagamaan dan pemurnian ajaran. Yang mana dalam hal ini justru tersinyalir mengarah terhadap hegemoni mayoritas bahkan bisa dilihat dengan sudut pandang lebih dalam sebagai propaganda rasisme, radikalisme. Maka dari itu dalam posisi tertentu kita juga perlu menempatkan diri dalam posisi sebagai minoritas, karena hal ini seringkali mampu melatih pola pikir kita untuk melihat realita lebih cermat dan objektif karena jauh dari egoisme.
Seperti dalam hal tindakan perusakan terhadap tempat peribadatan yang merupakan buntut dari fatalism ideology, mengingatkan kita terhadap kisah sunan ampel yang ditulis oleh syekh Fadhol Assanuri Tuban dalam Buku Ahla Musamarah Beliau.
Wa Qila : pada saat Sunan Ampel berkunjung ke Majapahit, dan hendak melakukan shalat di gazebo taman kerajaan, ada beberapa penjaga dan pelayan istana yang mencaci dan menilai ibadah Sunan Ampel aneh, karena kebanyakan mereka adalah penganut hindu budha dan animisme. Lalu muncul seorang sesepuh keraton bernama Sanjaya Dirga menegur dengan tegas orang orang yang mengejek Sunan Ampel. Beliau berkata : “hei, jangan kalian ejek mereka. Sesungguhnya setiap orang memiliki tuhan, dan mereka mempunyai cara masing masing dalam menyembah tuhanya.”
Jika dalam sudud pandang toleransi social (tasamuh) maka hal tersebut merupakan sebuah tindakan yang bijaksana. Sekalipun kisah tersebut tidak dapat dijadikan sumber hukum (masadir al-tashri), namun dapat digunakan sebagai pengalaman yang berfaidah dalam bersosial bermasyarakat, yang mana dalam konteks ini adalah kerukunan bersama (ta’ayusy).
Senada dengan cerita Sunan Ampel diatas, adalah percakapan syekh Al-Imam Al-Mabadi Al-‘Udzma Ali Jum’ah dalam menanggapi pertanyaan santrinya mengenai hadits Bukhori : 3/1206 no 3144, Muslim : 3/1665 nomor 2106, dari hadis Abi Tolhah tentang haramnya patung dan berhala . sebagai berikut :
Tanya santri : “bila memang menurut hadis tersebut gambar, patung, atau sejenisnya(dengan sempurna) adalah haram, maka kita telah berdosa jika membiarkanya tetap berada di muka bumi ini apalagi sebagai sesembahan orang orang itu.”
Syekh ali jum’ah menjawab : “kalau demikian mengapa engkau tidak  mengajak pemuda untuk anarkis dengan memasuki tempat tempat perjudian yang keharamanya telah jelas (telah menjadi consensus yuris) dalam hukum islam ?”
Santri itupun terdiam
Tambah syekh ali jum’ah :”kenapa engkau diam, bukankah persoalanya sudah cukup jelas ?”
“aku berpendapat demikian ini semata mata demi kerukunan bersama (ta’ayusy), inilah yang menyebabkan aku menjadi tawanan dalam permasalahan ini. Yang aku lihat bukanlah pada patung ini, boleh jadi engkau melihatnya sebagai patung. Namun mereka memandangnya pada keelokanya, keindahan kerajinanya, keindahan bentuknya, atau boleh jadi mereka melihatnya sebagai perantara sesembahan menuju tuhanya, itu  bebas kau lakukan, mereka pun demikian, namun kita tidak melihatnya. Karena  kita meyakini bahwa hadis tentang haramnya patung adalah sahih, tapi aku ingin tetap hidup rukun bersama mu dan mereka, karena Al-Ta’ayusy juz’un la yatajazza’u min al-din (hidup rukun merupakan hal yang tak terpisahkan dari agama).” Terang syekh Ali Jum’ah
Bila kebebasan beragama (hurriyah al-din) sudah kita sepakati adanya, maka menghormati peribadahan agama lain adalah bagian dari wasilah mewujudkan kehidupan yang rukun (at-ta’ayusy).

Menggunakan sudut pandang kerukunan dan toleransi antar umat beragama

Butuh masukan apabila direlevansikan dengan anjuran Amar Ma’ruf Nahi Munkar

5 comments:

Top 5 Popular of The Week