Mungkin anda sering
mendengarkan kata “bid’ah” baik lewat
mesia sosial, televisi, maupun pamflet pamflet di masjid yang kadang berserakan
seperti ultimatum tentara NICA yang disebarkan di langit kota surabaya hingga
membuat marah Bung Tomo
dan arek arek Suroboyo. Memang akhir akhir ini begitu gencar orang orang yang
menghakimi amal orang lain sebagai tindakan bid’ah,
parahnya lagi mereka membuat kesimpulan yang bisa dikatakan “menakutkan”. Bagaimana tadak, sebuah
dalil yang diartikan secara tersurat dan direfleksikan terhadap amal secara implisit. Mereka dengan gencar
mengatakan : “setiap hal yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap sesat adalah neraka”.
Maka jika anda suka berfikir radikal, anda bisa memangkas alur determinan yang
ada didalamnya, dan anda akan menghasilkan satu silogisme “setiap hal yang baru adalah neraka”. Sederhana bukan..?
Begitu sederhananya
sehingga mereka menganggap sederhana juga keimanan seseorang, orang lain yang
mereka anggap pelaku bahkan author bid’ah secara auto menjadi kafir dan ahlu
neraka. Saking simpelnya untuk mengkafirkan dan mengatakan orang lain sebagai
ahli neraka, maka tak berlebihan jika Gus Dur menanggapi dengan simpel juga, “kalau mereka mengatakan saya kafir, ya
tinggal baca syahadat lagi, kan sudah jadi islam lagi.. gitu aja kok repot”.
Pernyataan gus dur ini bisa anda artikan sesuka anda, sindiran ataukah statemen
jawaban, tergantung pada para pembaca sendiri.
Namun ternyata
pembahasan tentang bid’ah di negri
kita ini bukanlah suatu diskursus hangat yang baru menetas tadi pagi. Kurang
lebih se-abad yang lalu Syaikh Hasyim Asy’ari telah membahas hal tersebut dan
ditulis dalam kitab “Risalah Ahl
As-Sunnah Wa Al-Jama’ah”. Beliau mengulas istilah bid’ah dalam pasal pertama setelah beliau mengakhiri muqaddimah
kitab tersebut.
Secara definisi,
kata bid’ah sering banget di adukan dengan definisi kata sunnah. Dimana dalam
istilah syariat, sunnah banyak diartikan sebagai “sesuatu yang telah dilegitimasi atau dipraktekan oleh nabi muhammad
maupun para sahabat.” Sedangkat
bid’ah berarti pembaruan dalam wilayah agama dimana sesuatu tersebut menyerupai
syariat agama, padahal bukan. Pendapat yang dikutip dari Syaikh Zaruq ini
didasarkan pada hadis nabi yang menjelaskan tentang tertolaknya bid’ah dalam
agama.
Namun dalam hal ini
syaikh hasyim as’ari menilai bahwa tidak setiap pembaruan tergolong sebagai
bid’ah. Menurut beliau bid’ah merupakan suatu pembaruan dalam hal hukum dengan
meyakini sesuatu yang bukan merupakan bentuk Qurbah (upaya mendekatkan diri pada
Allah).
Terkait hal ini,
syaikh hasyim asy’ari dalam “risalah ahl as-sunnah wa al-jama’ah” menjelaskan
ada tiga sudut pandang yang dapat dipakai untuk menilai apakah suatu amal bisa
disebut sebagai bid’ah atau tidak.
PERTAMA, Dilihat dari sesuatu yang diperbaruinya
Jika sesuatu yang
diperbarui sebagian besar atau keseluruhanya berasal dari syariat dan bukan
berupa hukum atau ibadah mahdloh,
yang mana ketentuan dan tata caranya sudah diatur secara gamblang maka sesuatu
tersebut bisa disebut sebagai bukan bid’ah. Namun sebaliknya jika sesuatu yang
diperbarui bersifat fundamental dari ibadah dan hukum, maka hal tersebut
merupakan bid’ah.
Katakanlah dalam
sholat, jika pembaruan tersebut ada pada gerakan dan bacaan, maka pembaruan itu
adalah bid’ah, yang tentunya dlolalah. Namun jika berkutat pada unsur budaya
seperti penggunaan media seperti microphone dan lain sebagainya yang tidak
sampai merusak unsur aslinya, maka bukanlah bid’ah.
KEDUA, tinjauan terhadap kaidah sunnah dan ibadah.
Jelas, apabila
suatu pembaruan yang tidak sesuai dengan kaidah sunnah dan ibadah merupakan
bid’ah. Seperti penetapan hukum tertolaknya khilafah dapat dikatakan sebagai
bid’ah. Dimana seharusnya diadakan tinjauan tentang konsep dasar tersebut,
karena tidak dapat dipungkiri kalau konsep khilafah berasal dari Allah. Namun
disini juga dapat dikatakan bahwa konsep khilafah yang dibawakan untuk
meniadakan sistem yang ada, bukan untuk memperbaiki sebagaimana yang baru baru
ini diteriakan oleh beberapa golongan juga dapat dikatakan sebagai bid’ah.
KETIGA, Ditinjau dari aspek dalil dalil hukum syara’ yang
sudah tersedia.
Ada enam bentuk
umum hukum syariat yang tersedia yakni Wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf,
dan mubah. Setiap hal yang condong dan kemiripan dengan hukum hukum tersebut
maka dapat dihukumi sama dengan hukum asalnya.
Maka disini Syaikh
Hasyim Sy’ari menmbuat klasifikasi bid’ah menjadi beberapa, yaitu :
1.
Al-bid’ah al-sarihah
Yaitu
bid’ah yang jelas, yang tidak memiliki fondasi syari’at atau bahkan berlawanan
dengan ketentuan hukum syara’. Sehingga ia terkesan mematikan sunnah atau
bahkan membatalkan sesuatu yang haqq.
2.
Al-bid’ah al-idhafiyyah
Yaitu
bid’ah yang disandarkan pada sesuatu yang lain
yang telah memiliki ketetapan hukum syara’. Maka hukumnya sama dengan
hukum dasar tidakan yang “dibid’ahi” atau hukum asli dari sesuatu yang
diperbarui.
3.
Al-bid’ah al-khilafiyah (bid’ah yang diperselisihkan)
Yaitu
bid’ah yang memiliki dua landasan sekaligus, semisal pada praktik dzikir
berjamaah engan suara lantang. Imam malik berijtihad bahwa hal tersebut
termasuk bid’ah, karena rosululloh sama sekali tidak mencontohkanya. Namun imam
syafi’i mengatakan boleh, dengan dasar pembelajaran dan pelatihan bagi mualaf.
Sehingga
disini melahirkan adanya bid’ah wajib, bid’ah sunnah, bid’ah mubah, dan bid’ah
haram. Tergantung dari mana sudut oandang dan literatur yang anda gunakan.
Namun ijtihad dari para salafussolih juga seyogyanya tidak kita tinggalkan.
Mengingat ilmu kita yang masih awwam dan masih jauh dari kategori mujtahid. Wallahua’lam.
Penulis : A Fahmi
Publisher : Pojok Serambi
No comments:
Post a Comment