Thursday, January 3, 2019

Bid’ah Menurut Kyai Hasyim As’ari Pandangan Pendiri NU Tentang Bid’ah Cara Mengenali Amaliah Bid’ah


Mungkin anda sering mendengarkan kata “bid’ah” baik lewat mesia sosial, televisi, maupun pamflet pamflet di masjid yang kadang berserakan seperti ultimatum tentara NICA yang disebarkan di langit kota surabaya hingga membuat marah                 Bung Tomo dan arek arek Suroboyo. Memang akhir akhir ini begitu gencar orang orang yang menghakimi amal orang lain sebagai tindakan bid’ah, parahnya lagi mereka membuat kesimpulan yang bisa dikatakan “menakutkan”. Bagaimana tadak, sebuah dalil yang diartikan secara tersurat dan direfleksikan terhadap amal secara implisit. Mereka dengan gencar mengatakan : “setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap sesat adalah neraka”. Maka jika anda suka berfikir radikal, anda bisa memangkas alur determinan yang ada didalamnya, dan anda akan menghasilkan satu silogisme “setiap hal yang baru adalah neraka”. Sederhana bukan..?
Begitu sederhananya sehingga mereka menganggap sederhana juga keimanan seseorang, orang lain yang mereka anggap pelaku bahkan author bid’ah secara auto menjadi kafir dan ahlu neraka. Saking simpelnya untuk mengkafirkan dan mengatakan orang lain sebagai ahli neraka, maka tak berlebihan jika Gus Dur menanggapi dengan simpel juga, “kalau mereka mengatakan saya kafir, ya tinggal baca syahadat lagi, kan sudah jadi islam lagi.. gitu aja kok repot”. Pernyataan gus dur ini bisa anda artikan sesuka anda, sindiran ataukah statemen jawaban, tergantung pada para pembaca sendiri.
Namun ternyata pembahasan tentang bid’ah di negri kita ini bukanlah suatu diskursus hangat yang baru menetas tadi pagi. Kurang lebih se-abad yang lalu Syaikh Hasyim Asy’ari telah membahas hal tersebut dan ditulis dalam kitab “Risalah Ahl As-Sunnah Wa Al-Jama’ah”. Beliau mengulas istilah bid’ah dalam pasal pertama setelah beliau mengakhiri muqaddimah kitab tersebut.
Secara definisi, kata bid’ah sering banget di adukan dengan definisi kata sunnah. Dimana dalam istilah syariat, sunnah banyak diartikan sebagai “sesuatu yang telah dilegitimasi atau dipraktekan oleh nabi muhammad maupun para sahabat.”  Sedangkat bid’ah berarti pembaruan dalam wilayah agama dimana sesuatu tersebut menyerupai syariat agama, padahal bukan. Pendapat yang dikutip dari Syaikh Zaruq ini didasarkan pada hadis nabi yang menjelaskan tentang tertolaknya bid’ah dalam agama.
Namun dalam hal ini syaikh hasyim as’ari menilai bahwa tidak setiap pembaruan tergolong sebagai bid’ah. Menurut beliau bid’ah merupakan suatu pembaruan dalam hal hukum dengan meyakini sesuatu yang bukan merupakan bentuk Qurbah (upaya mendekatkan diri pada Allah).
Terkait hal ini, syaikh hasyim asy’ari dalam “risalah ahl as-sunnah wa al-jama’ah” menjelaskan ada tiga sudut pandang yang dapat dipakai untuk menilai apakah suatu amal bisa disebut sebagai bid’ah atau tidak.

PERTAMA, Dilihat dari sesuatu yang diperbaruinya
Jika sesuatu yang diperbarui sebagian besar atau keseluruhanya berasal dari syariat dan bukan berupa hukum atau ibadah mahdloh, yang mana ketentuan dan tata caranya sudah diatur secara gamblang maka sesuatu tersebut bisa disebut sebagai bukan bid’ah. Namun sebaliknya jika sesuatu yang diperbarui bersifat fundamental dari ibadah dan hukum, maka hal tersebut merupakan bid’ah.
Katakanlah dalam sholat, jika pembaruan tersebut ada pada gerakan dan bacaan, maka pembaruan itu adalah bid’ah, yang tentunya dlolalah. Namun jika berkutat pada unsur budaya seperti penggunaan media seperti microphone dan lain sebagainya yang tidak sampai merusak unsur aslinya, maka bukanlah bid’ah.

KEDUA, tinjauan terhadap kaidah sunnah dan ibadah.
Jelas, apabila suatu pembaruan yang tidak sesuai dengan kaidah sunnah dan ibadah merupakan bid’ah. Seperti penetapan hukum tertolaknya khilafah dapat dikatakan sebagai bid’ah. Dimana seharusnya diadakan tinjauan tentang konsep dasar tersebut, karena tidak dapat dipungkiri kalau konsep khilafah berasal dari Allah. Namun disini juga dapat dikatakan bahwa konsep khilafah yang dibawakan untuk meniadakan sistem yang ada, bukan untuk memperbaiki sebagaimana yang baru baru ini diteriakan oleh beberapa golongan juga dapat dikatakan sebagai bid’ah.

KETIGA, Ditinjau dari aspek dalil dalil hukum syara’ yang sudah tersedia.
Ada enam bentuk umum hukum syariat yang tersedia yakni Wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf, dan mubah. Setiap hal yang condong dan kemiripan dengan hukum hukum tersebut maka dapat dihukumi sama dengan hukum asalnya.
Maka disini Syaikh Hasyim Sy’ari menmbuat klasifikasi bid’ah menjadi beberapa, yaitu :

1.       Al-bid’ah al-sarihah
Yaitu bid’ah yang jelas, yang tidak memiliki fondasi syari’at atau bahkan berlawanan dengan ketentuan hukum syara’. Sehingga ia terkesan mematikan sunnah atau bahkan membatalkan sesuatu yang haqq.

2.       Al-bid’ah al-idhafiyyah
Yaitu bid’ah yang disandarkan pada sesuatu yang lain  yang telah memiliki ketetapan hukum syara’. Maka hukumnya sama dengan hukum dasar tidakan yang “dibid’ahi” atau hukum asli dari sesuatu yang diperbarui.

3.       Al-bid’ah al-khilafiyah (bid’ah yang diperselisihkan)
Yaitu bid’ah yang memiliki dua landasan sekaligus, semisal pada praktik dzikir berjamaah engan suara lantang. Imam malik berijtihad bahwa hal tersebut termasuk bid’ah, karena rosululloh sama sekali tidak mencontohkanya. Namun imam syafi’i mengatakan boleh, dengan dasar pembelajaran dan pelatihan bagi mualaf.

Sehingga disini melahirkan adanya bid’ah wajib, bid’ah sunnah, bid’ah mubah, dan bid’ah haram. Tergantung dari mana sudut oandang dan literatur yang anda gunakan. Namun ijtihad dari para salafussolih juga seyogyanya tidak kita tinggalkan. Mengingat ilmu kita yang masih awwam dan masih jauh dari kategori mujtahid. Wallahua’lam.

Penulis                 : A Fahmi
Publisher             : Pojok Serambi


No comments:

Post a Comment

Top 5 Popular of The Week