Friday, November 25, 2022

ANAK ADOPSI BERNAMA INDONESIA - BANGSA YATIM PIATU (HAL-3)

SAMBUNGAN... (HAL-2)

Kawula Gusti.


Posisi manusia itu “ngawula” atau menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat, menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.




Rakyat bisa salah identifikasi, sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara, Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan kepada Tuhan.


NKRI adalah Negara dengan sejumlah fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”, atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe.


Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa — bisa keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani Bangsa Indonesia.


Kita membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan kearifan pandang”:  terhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.


Enam ragam pandang di atas berada dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global. Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa “kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”.


Sila-5 belum kunjung tercapai, ada sebabnya, dan harus dicari di Sila-4: Pemerintahan dan Perwakilan yang kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari Sila-3 yang “bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan golongannya masing-masing.


Jangan-jangan ini akibar dari sebab yang terletak pada Sila-2: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia. Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan. Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama.


Kalau Sila-5 tak tercapai karena kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1. Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan.


BERSAMBUNG.... (HAL-4)

No comments:

Post a Comment

Top 5 Popular of The Week